10 Desember 2012

Bersabarlah hati...jiwa..


Bayanganku seperti tak nyata terlukis di jalanan itu
Di terang mentari…aku tak yakin itu bayanganku..

Terimakasih..
Kau disini.. masih berusaha selamatkan kebingunganku..

Maaf..
Aku yang kadang masih saja tak mengerti siapa aku..

Tungguilah aku.. hingga luapan laut surut kembali
Aku ingin seberanginya..

Sebentar..
Bersabarlah hati..jiwa..

Aku yang tak punya kuasa menghentikannya mengalir.
Sesak yang tak aku mengerti datangnya..

Tak baik untukku.. jiwa..detikku
Jangan sekarang..kumohon..

Ini...disini..
Panasnya melukaiku..
Aku tahu tak akan terbuang..

Bersabarlah hati…jiwa…
Untukku…

Rabb yang agung..
Tata hati, jiwa..ini, aturlah semau_Mu
Berikan pengertian dan pengakuan pada mata, hati, juga telingaku

Bersabarlah..hati..jiwa..
Ini bukan keniscayaan

Aku membutuhkanmu.. selalu..
Berikan aku pengertianmu tentang kata “bahagia”
Selamanya..

Disini.. Masih!


Terbesit bayangan rintik hujan itu
Deras..dan semakin deras…
Semangatnya hujan itu membasahi bumi kita..
Memaksa kita untuk duduk disini menikmati setiap air langit yang berjatuhan..

Masih lekat…disini..
Terlebih ketika ku tutup sejenak kedua mataku
meresapi setiap kelebat nyata bayangannya..

Aku tak juga bosan menunggu air langit itu menghentikan tetes derasnya..
Aku masih disini,..mencermati semut hitam yang berlari tanpa arah di meja kecil yang basah.
Di sini aku terus menunggu… bersama mu…
Hingga hujan terhenti tetesnya..

Itu hujan…

Apa kau tahu?
Bulan yang indah itu juga masih disini..
Pijaran cahaya lilin putih itu juga masih disini..
Pun gemerlap kembang api itu..

Mata pagimu yang ku yakin sebenarnya masih ingin terlelap itu
Menyibak dingin jalanan pagi bersama tiupan angin embun bumi yang menusuk
Masihlah disini..

Iya..disini..
Tentang nyanyian pengamen kecil…
Juga tentang amarahmu pada buah pepaya..
Dan tentang…tentang…tentang…hal yang tak akan habis ku urai disini..

Aku masih menyukai merah jambu..
Meski aku sudah jauh bisa menerima warna lain sekarang.
Aku juga masih sangat menyukai rembulan.

Jika pantas.. untuk diucap...
Masihlah aku mengenal amarahmu, senyummu, gelak tawamu..
dan setiap tanda matamu menatap..
juga isyarat nada katamu.

09 Desember 2012

Tanpa garpu?


Semua tak sama… Tak pernah sama…  

Itu alunan indah lagu Padi yang berulang kali aku replay untuk menemani aku menikmati mie rebus yang aku sebut “sudah jarang aku makan” kemarin ternyata hari ini terpaksa aku ikhlaskan memakannya. Hari ini Minggu 09 Desember 2012 warung makan seputaran kost pada tutup. Huks.. nggak bersahabat banget dengan hari anak kost memang. Yo wes..yang penting makan aja dulu, mudah-mudahan tubuh ini menerima dengan ikhlas tanpa berontak. Hehe

Menyuap mie dengan bantuan sendok dan garpu, menyenangkan. Keduanya memang sulit dipisahkan jika saat menyantap yang namanya mie. Hampir nggak pernah si sendok tanpa garpu. Sambil mengumpulkan mie oleh garpu dan kemudian merapikan di sendok untuk sesaat kemudian tanganku mengayunkannya masuk di mulut, sejenak aku berpikir. Memang menyenangkan jika selalu ada sendok juga garpu saat harus menghabiskan mie. Iya..menyenangkan.

Aku tidak berpikir hal ini pada orang lain. Ini tentang aku yang menyuap mie memang harus dengan bantuan sendok dan garpu. Bukan cuma dengan sendok, tapi harus ada garpu. Harus ada garpu.

Tapi sesaat aku berpikir lagi. Jika aku suatu saat tidak menemukan si garpu, si garpu hilang, apa lantas tak bisa menyuap mie. Apa nggak bisa jika cuma dengan sendok saja? Meskipun aku yakin itu memang akan terasa sulit, sangat sulit untuk aku yang terbiasa dan boleh dibilang tak bisa menikmati mie tanpa garpu. Tapi mana mungkin aku harus relakan perutku kelaparan jika di dunia ini hanya ada mie. 

Aku mengerti betul akan sangat sulit. Aku tahu itu. 

Ah.. bukankah kita manusia yang dikaruniai “lupa”? Jadi bagaimana mungkin aku tidak bisa untuk melupakan bagaimana mudahnya, menyenangkannya jika ada garpu. Aku yakin aku hanya perlu waktu untuk merelakan kesenangan itu kan? Meski terasa sulit. Meski ini tak akan semudah mengucap kata “lupa”. Tapi aku tak harus menyakiti tubuhku dengan membiarkannya kelaparan bukan. Kendati mungkin aku harus belajar mengumpulkannya dengan susah payah untuk kemudian ku suapkan. Atau mungkin aku harus gunakan ujung jari tanganku yang lain untuk membantu sendok mengumpulkan  mie. 

Apa aku akan selamanya berkata” kenapa aku tak dibiarkan untuk tidak mengenal garpu” saja? Tentunya selama itu pula aku akan membiarkan hidup ku sengsara bukan? Penyesalan kenapa tak menjaga dan menyimpan si garpu dengan baik. 

Meskipun saat temukan pendamping sendok yang lain, aku tentu tak akan merasakan kemudahan menyantap mie bersama si garpu. Tenanglah..Jiwa itu hanya perlu sebuah kepasrahan pada Illahi untuk belajar menjalani hidup dengan suasana yang baru. 

Hmm… Aku juga tak bermaksud menyederhanakan hidup seperti semangkuk mie ku juga sendok dan garpu ku ini. Aku hanya berpikir bahwa hidup memang haruslah selalu berusaha dan belajar. Untuk bisa menjalani dan menerima kenyataan yang sudah di takdirkan. Kesalahan hadir bukan tanpa maksud. Hanya agar kita berpikir lalu belajar untuk tidak mengulanginya. Kesulitan dating bukan tanpa tujuan. Hanya agar kita tunduk dan berpasrah pada kekuasaan Illahi yang hanya Dia lah yang berkuasa membolak-balikkan hati, rasa, juga jalan hidupmua untuk menoleh dan berubah haluan. Maka jadilah engkau seorang yang beruntung saat kau masih bisa “menyesal” dan teteskan air mata. Tapi bukan engkau yang menyesal lalu tenggelam dalam rasa bersalah tanpa memperbaikinya. Meski kesempatan mungkin tak datang dua kali, tapi bukankah dunia ini begitu luas untukmu buktikan bahwa kau berusaha memperbaikinya.

Hei Kalian.. Oknum Negeriku


Hai saudara ku sekalian…
Lupakah pada deru semangat yang berkobar dari para pejuang masa lalu
Lupakah pada nyawa yang tercabut dengan simbahan darah berserak bak puing-puing yang tak bernilai itu
Bukankah itu semua demi masa depan negeri kita ini??

Kenapa??
Karena kalian menganggap “Indonesia Raya” itu hanya sarapan para akademisi, para pegawai pemerintah??
Atau karena kalian lupa pada cerita nenek kakek yang tua renta itu..
Apa kalian tak lagi menanyakan cerita masa lalu mereka?
Tentang gelapnya jalanan mereka yang tertutupi semak-semak penjajahan
Tentang keringat dan wajah kemiskinan itu yang tetap semangat membesarkanmu..

Atau… kalian menyimpan dendam pada bangsa ini yang setiap hari mempertontonkan kisah koruptor?
Hei..hei..hei… Tapi kenapa?? Harusnya kau membalasnya pada dirimu sendiri..

Wahai hamba Allah yang kedua matanya terselimuti mega hitam..
Sebagian kisah kemerdekaan di negeri ini rusak..oleh kalian
Segeralah memohon kasih sayang-Nya untuk tidak terlepas dari hidupmu yg singkat itu..

Sungguh.. seluruh tubuh ini menangisinya..
Sepetak dari Negeriku..
Hanya menjadi permainan zaman yang fana
Uang, kekuasaan, kehormatan?? O..Ya??
Kehormatan sebatas sepetak tanah negeri ini
Aku melihatnya bak kubangan lumpur..
Tapi aneh.. kalian melihatnya sebagai lautan emas..

Hei kalian yang sibuk memperebutkan tahta
Citramu tak akan bisa dibangun dengan tong kosong..
Berlapis seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta rupiah

Kalian yang berbangga diri pada plat merah
Plat merah yang kau nodai itu..
Darimana kalian mendapatkannya? Merampas? Merampok? Menjarah?
Pada hak-hak yang kau hakimi..

Penghianat negeri.. Yang meringis tersenyum membelai angan-angannya..
Ingatlah.. Allah tidak tidur…
Jika kalian tertawa diatas sebuah perjanjian pada kepolosan yang kalian bungkam
Apa pernah terlintas, kepolosan itu punya hati, punya naluri, juga punya amarah..

Terimakasih…sekali..
Kalian membuat kami…kami…kami…akan menyalakannya lagi..
Hingga suatu hari amarah negeri ini akan menghanguskan kalian
Dan kita lihat nanti pada waktunya Tuhan yang agung akan tunjukkan pada kalian
Tentang kenistaan yang kini kalian banggakan..
Berdoalah bahwa saat itu kalian masih bisa menyesal.

Maaf…Jika aku menghujatnya..
Maaf...Jika naruniku menghukum kalian lebih dari yang layak di ucap kata
Maaf...Jika amarahku pada laku kalian tak sesantun kata-kataku yang hina tadi
Maaf...Jika rasaku seperti menginjak kalian di sela dedaunan jalan yang berserak.