29 November 2011

Guru Idaman

Aku seorang murid kelas 3 SD di sekolah yang terletak di suatu desa yang kurasa itu adalah daerah transmigrasi. Sederetan rumah-rumah penduduk yang terbuat dari 'kayu' ber-cat putih. Seragam, dan aku rasa hampir semuanya bentuknya sama berpola seperti rumah panggung, namun dengan ketinggian yang beragam dan sepertinya tidak lebih dari 30cm atau 50cm, jadi menghasilkan kolong-kolong sempit dibawah rumah. Heimm seperti seorang pengamat kecil yang masih amatiran ku rasa aku sekarang, menceritakan keadaan desa ini tempat sekolahku berada.

Sebenarnya, aku berpikir bahwa aku cukup pintar untuk ukuran otakku yang sebesar ini. Pas/cukup. Tidak terlalu memubazirkan fungsi dari volume otakku. Buktinya aku bisa berpikir untuk menangis jika teman-teman usilku mulai berulah. Hihihihi (Cukup pintar untuk meluapkan kekesalan. He)

Aku memang tak mengerti dengan keadaan sesungguhnya yang dipirkan oleh orang-orang dewasa yang kerap aku amati. Dan kadang hasilnya adalah heran. Seperti hari ini... Suatu fenomena yang kuterima lewat mataku hari ini membuat aku tak henti berpikir, namun hasil pikiranku adalah tetap saja sebuah kebingungan belaka. 

Sebuah awal tahun ajaran baru menghampiri dengan suasana yang aku rasa biasa saja. Tidak ada yang berubah. Seperti halnya pakaianku dan semua atribut sekolahku, tidak ada yang berubah. Aku hanya sedikit kurang beruntung saja kurasa, sehingga tahun ajaran baru bukanlah berarti atribut sekolah baru untukku. Tapi aku tetap rapi dan bersih meski tanpa "setrikaan". Dan untuk hal itu aku salut pada ibuku. Keterbatasan alat bukanlah hal penghalang untuk jadi rapi dan bersih. Meski jika dibandingkan teman perempuanku yang rapi dengan pakian khas "setrikaan" itu aku memang kalah rapi. Heimm tapi tak apalah, toh teman-teman seusiaku bahkan diatasku malah banyak yang berpenampilan 'kucel' (sebutanku untuk yang tidak rapi. he), dengan tanda khasnya adalah noda-noda hitam di baju putih mereka itu. Banyak lalat yang numpang BAB disana soalnya. Hehehhe

Ah bukan itu sebenarnya keadaan terpenting. Ada hal yang benar-benar mempengaruhi jalan otakku hari ini. Aku jadi bingung otakku mau ngajak aku kearah mana dengan pemandangan hari ini. Hari ini adalah bulan keempat aku menduduki jabatan sebagai siswa SD kelas 3. Aku masih asyik bermain bersama temanku mengisi waktu sebelum Lonceng (bel) pertama berbunyi. Bola kasti dengan 5 buah batu-batu kecil atau dengan 5 buah cangkang/kulit kerang, dan bola itupun milik temanku. Ketika tiba giliran temanku yang memainkan bola itu, aku hanya asyik melihatnya (dengan harapan permainannya cepat mati. Hehe) sambil sesekali menikmati pemandangan sekolahku tercinta ini yang segar dipagi hari. Dengan halaman yang luas yang biasanya digunakan untuk upacara bendera hari senin, atau senam pagi dihari lain atau juga arena bermain Kasti. Segarnya pagi ini dengan oksigen yang dihasilkan kurang lebih 8 pohon sawit yang sengaja ditanam rapi juga beberapa pohon bunga Kertas (Bougenvile) yang cukup besar dengan bunga berwarna merah muda yang lebat. Tapi itu biasa... 

Pemandangan yang tak biasa tiba-tiba terlihat. Bukan makhluk halus sii.. he.. Seorang guru ku di kelas 1 dulu, seorang laki-laki yang sepertinya umurnya sedikit lebih tua dari ayahku yang sekarang berusia 26 tahun (Ayahku kan menikah muda.Hihihihi). Beliau juga terkenal seantero sekolahku sebagai pemegang predikat guru pemarah (gemeretak giginya terlihat menyeramkan dibalik pipinya) dengan otot wajah yang sepertinya berlomba untuk keluar dari kulit wajahnya, terutama dahinya. Tapi sebagai pengajar dan bukan penghajar, beliau tetap meluapkan kemarahan beliau lewat bentakan saja atau jeweran di telinga. Beliau bukan pelaku KDRS (kekerasan dalam ruang sekolahan). Saat ini yang terlihat olehku justru bukanlah kemarahan beliau, tapi kasih sayang beliau terhadap seorang murid laki-laki kelas satu. Beliau datang dari arah jalan gerbang sekolahku yang sedikit mendaki menuju terus ke gerbang sekolah ini. Menggendong murid itu tapi di tengkuknya (memondong kali ya..) dengan selingan gurauan-gurauan kecil. Terus...dan terus menuju kearah halaman sekolah, dan kini anak kelas 1 itu sudah dipindahkannya dipunggungnya sambil terus bergurau kecil. Melangkah hingga teras ruang kelas 1, dan mataku masih memandangnya dari depan teras ruang kelasku.

Aku memang bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Tapi bukan seperti dia. Bukan dia guru idamanku yang selama ini aku bayangkan sebagai diriku kelak setelah dewasa. Bukan karena dia suka melantunkan gelegar amarahnya diruang kelasku dulu ketika diantara kami ada yang melakukan kesalahan. Bukan karena bayangan wajah seramnya dengan otot dahi yang serasa ingin loncat dari dalam kulitnya. Bukan itu.. sama sekali bukan. Sebab tak selamanya dia begitu, dia mengajarkan aku menulis, berhitung, membaca dan bukan semata-mata amarah yang dia isikan di jam pelajaranku dulu. Amarahnya itu hanya sebagian kecil mungkin dari waktu di jam pelajaran itu, meski begitu membekas disetiap memori kami. Tapi sama sekali bukan itu yang membuat aku saat ini seolah membencinya. Tapi karena perilakunya tadi yang kulihat pada murid kelas 1 itu. 

Aku memang tak mengerti tentang pikiran-pikiran orang dewasa itu, seperti halnya beliau. Mengapa harus berperilaku seperti itu? Dan aku ini kenapa?? Aku hanya anak kelas 3 SD yang tak mengerti apa-apa tentang pemikiran beliau. Tapi kenapa aku tak suka dengan perilaku beliau tadi. Apa aku iri?? Iri?? Tapi jika aku iri kepada anak kelas 1 itu kenapa aku sama sekali tidak ingin menjadi guru seperti beliau. Bukan Beliau.
Apa hanya aku yang berpikiran seperti ini? Bagaimana dengan teman-teman sekelasnya yang sama-sama di ajar oleh beliau? Kenapa cuma dia yang diperlakukan istimewa? Apa karena dia pintar?? Kenapa? Kenapa beliau begitu tega melemahkan mental murid lainnya. Kenapa tidak bijak dan adil saja. Agar semua mendapat perhatian dan kasih sayang beliau dengan bijak. Apa pembangun negeri ini kelak hanya satu anak itu saja. Jangan lakukan hal itu disini.. dilingkungan sekolahku. Karena disini kau milik kami semua wahai guruku. Kami semua ingin mendapatkan kasih sayang yang sama. Sama sekali bukan ingin digendong, bukan itu. Sebab kurasa tingkahku sudah membuatku sering sekali merasakan gendongan ayah dan ibuku tercinta.

Kau begitu tidak adil dimataku. Dan kau sama sekali bukan guru idaman di cita-citaku yang kelak menjadi aku.

Saat ini aku hanya ingin kelak aku menjadi seorang yang adil. Karena aku yakin murid kelas 3 SD ini adalah pembangun negeri masa depan. Meski di takdirku nanti aku tak tahu apakah aku akan menjadi seorang guru, tapi yang pasti sekarang sudah tertanam kokoh "Cita-citaku menjadi guru milik semua muridku yang adil dan bijak".

Aku masih asyik dengan ocehan-ocehanku dalam hati yang penuh emosi. Seketika terhenyak mendengar bunyi lonceng khas itu berbunyi nyaring. Padahal permainan temanku tadi belum juga usai (belum mati), atau kalaupun dia curang juga aku pasti tak tahu soalnya konsentrasiku pada pemandangan yang menyebalkan tadi. Kami berdua segera masuk kelas. Dengan kedua tangan yang rapi, tangan kanan bertumpu pada tangan kiriku, aku sedikit tersenyum dalam hati menatap guru yang ada didepan kelas ku saat ini, "aku yang akan didepan kelas kelak membimbing murid-muridku dengan ilmu dan hatiku"..