11 April 2014
Timang-timang..
Timang-timang..
Wahai diri yang gejolaknya tak punya aturan
Rebahlah kedua sisi keningmu dipangkuan sajadah Tuhan
Pandangilah dengan lembut tempatmu seharusnya bersujud
Ada apa di sana?
Timang-timang..
Wahai diri yang haus akan kebebasan
Tengadahkanlah telapak tangan itu
Rasakanlah apa yang bisa kau genggam di keduanya
Ada apa di sana?
Kebebasan itu adalah tempatmu sekarat, dan beku.
Aturan itu juga tempatmu sakit, dan mati.
Tapi keduanya berbeda
Kau bisa memilih kerakusanmu, lalu mati
Kau bisa memilih sederhanamu, lalu mati
Dan keduanya berbeda
Timang-timang..
Wahai diri yang geloranya tak bertepi
Kau bebas memilih jalan kematianmu
Kita tetap akan sama-sama berada di dalam tanah
Timang-timang..
Wahai diri yang hatinya sempit, sakit
Biarkan apa yang kau lihat di sajadah itu, juga apa yang kau rasakan di telapakmu itu
Menjadi rahasiamu bersama Allah, bukan aku, dia, juga mereka
Timang-timang..
Wahai jiwa yang tersesat dalam gelap
Pulanglah!
Jalan Tuhan masih dibentangkan di tiap hela nafasmu
Pulanglah!
Pulanglah!
Sebelum kau mati.
Yogyakarta, 07 April 2014
09 April 2014
Wajar?
Gerimis? Hujan? Entahlah...
Riuh di sela-sela banyak tanda tanya
Tentang kita, kamu, aku, kita semua.
Kita yang asik dalam ayunan kata wajar
Membiarkan diri terhanyut dalam alam yang sesungguhnya tak wajar
Tanpa terasa, ayunan semakin kencang,
kita yang terlanjur asik dalam buai pun tak sadar kalau kita kurang ajar
Siapa yang berani menghajar?
Lidah nafsu hanya cukup sekali saja melantangkan suara “ini wajar!”
Semua hening, entah..., tertelan ketakutan pada yang mayoritas?
Mayoritas yang merasa wajar-wajar saja
Kita yang enteng menganggap kesalahan adalah biasa
Wajar.
Entahlah.., apa neraka itu sebuah kewajaran?
Karena wajar itu mayoritas
Dan titik hujanpun hening.
Ada kata hati yang tak lagi ingin diam tergolek manis dalam ayunan
Yogyakarta, 01 April 2014
Riuh di sela-sela banyak tanda tanya
Tentang kita, kamu, aku, kita semua.
Kita yang asik dalam ayunan kata wajar
Membiarkan diri terhanyut dalam alam yang sesungguhnya tak wajar
Tanpa terasa, ayunan semakin kencang,
kita yang terlanjur asik dalam buai pun tak sadar kalau kita kurang ajar
Siapa yang berani menghajar?
Lidah nafsu hanya cukup sekali saja melantangkan suara “ini wajar!”
Semua hening, entah..., tertelan ketakutan pada yang mayoritas?
Mayoritas yang merasa wajar-wajar saja
Kita yang enteng menganggap kesalahan adalah biasa
Wajar.
Entahlah.., apa neraka itu sebuah kewajaran?
Karena wajar itu mayoritas
Dan titik hujanpun hening.
Ada kata hati yang tak lagi ingin diam tergolek manis dalam ayunan
Yogyakarta, 01 April 2014
Langganan:
Postingan (Atom)